Saturday, May 16, 2020

Ingin Ini Ingin Itu

Gw berasa laper deyh. Pengen ganyem sesuatu.

Kalau bilang sama Mas, takutnya dibeliin. Padahal kami juga lagi nabung2.

Mau beli sendiri, ga enak kalau ndak beliin Mertua dan Mas. Uangnya ga cukup. Jadi yaudah.

Cek cek gofood lalu tutup aplikasi. Minum air.

Sunday, November 24, 2019

Berserah 2.0

Gw perlu menuliskan hal ini untuk kebaikan gw. Gw memendam ini sudah terlalu lama dan gw dulu pernah enggan membahas hal ini.

Tiga bulan yang lalu anak kami lahir. Dua minggu pertama adalah dua minggu terlama gw melewati hari-hari menjadi IBU. Masih newbie, masih adjustment. Gw sudah baca dan kulik2 sedikit soal baby blues dan gw dulu pernah bilang, “ah, gw bisa melewati hari-hari paska persalinan tanpa baby blues”.

Ternyata ngga. Gw melihat diri gw menangis ketika sedang menyusui, sedang menyetrika, sedang berdiam diri, sedang duduk di atas Kasur, pokoknya gw bisa nangis kapanpun.

Apa sih yang gw pikirkan saat itu? Ada kalanya gw bersyukur sama Tuhan karena telah dititipkan Rene, bocah mungil yang tidak mau merepotkan siapapun. Gw berterima kasih karena dari semua pasangan yang ada, kami salah satu yang diberi kepercayaan untuk memiliki momongan. Tuhan Yesus baik dan akan selalu baik.

Tetapi ada malam – malam dimana gw menangisi masa depan anak gw. Apakah dia bisa sekolah di sekolah yang baik? Apakah dia bisa hidup dengan layak? Apakah dia bisa mendapatkan kesempatan seperti anaknya teman-teman gw yang umurnya sepantaran dengan Rene? Banyak hal yang gw khawatirkan sampai-sampai gw udah keasikan nangis, lupa kenapa dan tujuan nangisnya apa. Mata sembab. Okelah.

Gw memiliki ketakutan bahwa gw dan Mas tidak bisa menjadi provider yang dapat mencukupi kebutuhan Rene. Seakan dipeluk sama Tuhan, kekhawatiran gw itu sebenarnya tidak diperlukan karena Tuhan Yesus yang akan memenuhi kebutuhan Rene lebih baik dibandingkan kerja keras Mama Papanya. Gw menjadi malu dan segan karena gw seakan mempertanyakan “Apakah Tuhan mampu memelihara saya, Mas Irawan dan Rene?”. Untuk bagian itu, gw udah minta ampun berkali-kali.
DI akhir tahun 2019 ini mungkin gw benar-benar dipaksa Tuhan untuk BERSERAH. Karena sekuat apapun usaha gw, kalau Tuhan tidak mengizinkan, pastinya tidak akan terjadi. Tuhan berkali-kali memberikan pelajaran dan gw dengan sombongnya menggunakan kekuatan dan akal budi manusia. Sampai akhirnya ketika gw sadar gw mengalami baby blues, gw acceptance bahwa betul apa yang gw alami adalah baby blues. Apa yang dapat gw lakukan adalah berserah kepada Tuhan yang maha kasih. Tuhan ga akan menelantarkan anaknya. Apalagi anaknya gendut putih udah kayak mochi ketumpahan bedak.

Untuk pekerjaan freelancer, gw mulai aktif di November 2019 (2 bulan sejak lahiran). Papanya tetap melanjutkan usahanya sebagai go-send same day driver. Apapun yang Tuhan punya buat keluarga kami, kami mau tetap bersyukur dang a sekalipun kami berniat menghujat Tuhan karena semua yang terjadi dalam kehidupan kami adalah rancangannya Tuhan Yesus.

Gw bersyukur bisa mendapatkan pasangan Mas Irawan terlepas dari latar belakang, pekerjaan, apapun embel-embelnya karena satu hal yang bikin gw yakin yaitu Mas Irawan sayang sama Tuhan Yesus dan mau menjadi lebih baik seperti Kristus. Hanya itu yang membuat gw mantap dengan keputusan gw (lagipula, kalau Tuhan gak mengizinkan, ga mungkin gw bisa ngucap janji di altar di Gereja Santo Yohanes Penginjil).

So, all is well. Ini Update Cici per 24 November 2019. 

Saturday, August 3, 2019

Jangan Mengeluh

"Jangan mengeluh. Karena hidup yang kalian keluhkan, bisa menjadi hidup yang diingkan orang lain"

Gw hari ini berasa agak linglung karena memang gw sedang sendirian. Sejak pulang dari kelas menulis, gw mampir ke carrefour dan gw jalan-jalan sendirian aja. Sampai akhirnya gw lelah ngider dan duduk di Imperial Kitchen. Di situ gw mulai tenggelam dalam pemikiran gw sendiri. Gw mulai mencemaskan persalinan, mencemaskan nasib anak gw kelak, dan bingung sendirian (sambil makan dan baca Quora Indonesia).

Gw mungkin ngga mengeluh karena gw masih berenang di kekhawatiran gw. Tapi rasa cemas itu bikin dada gw sakit. Dan gw merasa sesak seakan terjepit situasi padahal di tempat yang cukup luas, tetapi mentally I kinda felt trapped. Seusai makan, gw bergegas pulang. Rasanya ingin segera mandi, masuk kamar dan menangis. Entah menangisi apa, intinya butuh menguras air mata aja.

Apa mungkin gw terlalu banyak mendem ya belakangan ini? Well, mungkin dari 2018 awal. I have changed and still am. Dulu gw mudah mengungkapkan perasaan gw, bahkan terkesan ceplas ceplos. Karena itu bukan trait yang cukup diminati oleh si Mas, gw mulai meredup. Dari luar, gw akan terlihat lebih kalem. Ketika gw mendapatkan stimulus, gw akan coba menganalisa terlebih dahulu. Makanya gw diem dulu. Dan kalau gw udah overwhelmed, gw akan jadi YES MAN ke semua orang layaknya gw memperlakukan klien. Karena di saat seperti itu gw sadar, yang mereka butuhkan adalah respon segera dari gw, bukan gw yang mencoba menganalisa/kalem/berpikir lebih kritis. I am not sure if it's a good thing. I kinda feel like I am losing myself.

This process is quite challenging for me. Gw tau bahwa ketika gw memutuskan untuk menjadi lebih BAIK, jalanan di depan gw udah macam tanjakan dengan berbagai rintangan. Makanya gw mencoba untuk menenangkan diri bahwa semua ini memang bagian dari proses. Gw mengingatkan diri gw untuk tidak menyerah dan tidak mengeluh karena tujuan gw sudah jelas. I WANT TO GET BETTER.

I feel like being married is like entering a whole new level which you cant never go back (to lower level). Menariknya adalah Tuhan memberikan pasangan yang sesuai dengan level gw. Selama gw berelasi dengan pasangan di masa lampau, gw tahu mana yang gw suka dan tidak suka. Mana yang bisa gw tolerir dan tidak bisa. Dan seluruh karakteristik yang Tuhan rasa gw belum "lulus" dimasukkan ke dalam trait si Mas. Jadi ketika gw menikah, seakan gw mengulang mata kuliah prasyarat yang belum dapat gw tuntaskan (belum lulus).

Terlepas dari emotional state gw saat ini - yang holding on and try to act normal - gw mencoba bersyukur. Dari hal terkecil seperti masih dibangunkan di pagi hari, masih bisa menjadi ibu hamil, masih diberikan calon bayi yang aktif gerak-gerak, masih diberikan kesehatan , masih bisa makan, masih mampu membeli vitamin dan obat hipertensi dan semua nikmat yang diberikan Tuhan.

Selain itu, tadi pagi suami juga bilang berencana untuk mencari pekerjaan agar bisa menambah tabungan keluarga kecil kami. Gw tersenyum dan berterima kasih kepada Tuhan. Thank you Lord for everything you have given us.


Wednesday, July 17, 2019

Update Juli 2019


Gw tergerak untuk menulis kembali karena ada peserta kelas menulis yang tiba-tiba nyamperin gw, bilang bahwa dia nge-GOOGLE nama gw dan menemukan trueorvalz.blogspot.com ini. Gw agak kaget sih. Nobody reads my blog (as far as I know). Tapi ya sudah, gw memutuskan hari ini untuk cek blog gw yang ala kadarnya ini dan kenapa ngga memberikan update sedikit (baca: muntah perlahan-lahan).

Tahun 2019 merupakan tahun yang baik dan positif. Diawali dengan gw mengetahui bahwa gw hamil di 8 Januari 2019 di Ubud. Gw cuma tes 1 kali menggunakan test pack dan mendapatkan 2 strip.My husband and I cried because we were super happy. Dari situ gw rutin cek ke dokter. Sampai selesai pekerjaan gw di Ubud, gw kembali ke Jakarta dan cari RSIA yang sekiranya dekat dengan rumah dan harganya terjangkau. Gw memilih RSIA Kartini dan Dokter Bambang sebagai dokter kami. RSIA Kartini cukup oke dan Dokter Bambang juga informatif sekali. Di 3 kunjungan terakhir, gw menggunakan BPJS karena gw menyadari bahwa usaha menabung gw di BPJS ternyata bisa digunakan untuk cek ke dokter. Lumayan sih untuk USG gitu (IDR 150,000 ; kalau print photo tambah IDR 50,000) karena obat hipertensi dan vitamin gw cukup mahal (adalat oros 30 mg, dopamet methyldopa , eazycal, & prolacta). Gw pun juga masih minum blackmores pregnancy GOLD. Ramai deh obat yg perlu gw konsumsi setiap harinya. Gw perlu menjaga tensi gw untuk tetap normal agar janin bisa bertumbuh dengan baik.

THERE ARE SO MANY FACTORS THAT CAN GO WRONG DURING PREGNANCY.
Gw baru mengetahui ini ketika gw hamil dan gw bersyukur bahwa nyokap gw merawat gw selama di dalam kandungan dan sampai detik ini. Gw menyesal karena dari dulu gw kerap mendukakan orang tua gw dan gw pun berharap gw bisa mengajarkan kebaikan-kebaikan ke anak gw agar anak gw bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik ketimbang gw , Mas Irawan ataunpun orang tua gw. Salah satunya untuk bersikap family oriented, menghargai orang tua dan patuh sama orang tua. As if God gives me 2nd chance and I'd better not blew this chance.

Ada beberapa hal yang ingin gw tuangkan disini tetapi gw ingat pesan Mas bahwa sebaiknya curhat sama Tuhan.
Gw pun melakukan hal tersebut. Di malam-malam sendirian, gw masih suka terisak pelan (agar anak gw ga tau kalau mamanya lagi nangis). Disitulah gw mencoba bersyukur karena semua yang telah diberikan Tuhan (baik yg menyenangkan maupun kurang menyenangkan) bisa membuat gw menjadi pribadi yang lebih baik, lebih kuat, dan lebih sayang/dekat dengan Tuhan.




Monday, March 5, 2018

ThrowBack - Korea Trip and Si Gendut

Gendats yang semakin GENDATS karena winter coat

First post of the year. Setelah makin jarang menulis, hari ini gw memutuskan untuk menuliskan lagi. Gw mau angkat topik si Gendut karena gw lagi nyari-nyari foto perjalanan Korea yang "LAYAK PUBLISH" di Facebook. 

Dalam pencarian foto pun, gw banyak terhenti di foto-foto yang membuat gw kangen sama si gendut. We looked so happy. We even looked like we were falling madly in love. Little did they know, Korea Trip was our last trip together as partners and lovers. I decided to end it in Januari 2017, a few week after the trip ended. 

Abis gembokin ini, eh putus~ #LIFE

Banyak orang yang menyayangkan keputusan gw untuk mengakhiri hubungan itu. Saat itu terjadi, gw cukup cold blooded sih dalam menyikapi pasangan gw dan keengganan dia untuk mengakhiri. Kalau ditelaah kembali, gw merasa bahwa di akhir 2016, gw sudah cukup jengah menghadapinya. I thought my life was better than my partner's. I thought I was heading to the right direction. Well, I still think I'm heading to the right direction. 

Tapi yang membuat gw cukup muak adalah proses sampai akhirnya perjalanan Korea selesai. Kami berkenalanan, kami saling mengetahui sisi yang orang lain tidak ketahui tentang kami, kami saling mengungkapkan perasaan, kami mencoba jujur dengan diri sendiri maupun satu sama lain, kami saling mendukung, kami menyayangi satu sama lain, dan tiba-tiba proses itu berhenti lalu perlahan-lahan gw mulai menarik diri dari relasi gw. 

Gw mencoba berpikiran praktis dan mungkin juga instan layaknya milenials pada umumnya. Banyak keluh kesah yang dia ceritakan ke gw akhirnya bikin dia merasa bahwa gw gak mengerti dirinya. Gw pun mulai menyibukkan diri dengan hal-hal yang gw anggap lebih penting daripadanya. 

Gw mulai mengabaikan dia secara fisik maupun psikis. Salah satu kerabat gw pernah memberikan wejangan bahwa ketika lo berelasi dengan orang lain, keep holding on dan perjuangkan orang itu. Wejangan itu cuma gw pegang selama 3 tahun. Jahatnya gw adalah gw mulai merasa nombok secara emosional ketika gw "keep holding on". 

Di saat itu gw sadar bahwa dia pun sedang berproses dengan kerjaannya dan situasi finansialnya. Gw sadar bahwa kadang kecuekan gw bisa disalah artikan. Gw memberikan saran ala kadarnya tapi benar-benar berempati ternyata menimbulkan pertengkaran. Jika ada waktu, gw akan dengan senang hati melayani pertengkaran tersebut walaupun kadang biasanya gw diamkan selama beberapa puluh jam. Kadang di masa-masa pertengkaran itu terjadi, gw pun merasa lebih produktif. 

Apakah gw menganggap dia beban? Secara finansial, relasi kami cukup seimbang dimana pembagian sudah jelas diawal. Secara emosional, mungkin benar adanya bahwa kadang gw jengah dengan sikapnya. Secara fisik, gw akan selalu menginginkan hal yang lebih baik baik untuk dirinya, dan untuk kami. 

Dari semua kegalauan yang gw rasakan (tentunya dengan kadar yang cukup rendah), gw memutuskan untuk meninggalkan dia dengan segala persoalannya, dengan segala hal dalam dirinya yang bersifat medioker, dengan segala hal yang memuaskan baginya tapi tidak bagi gw, dan tentunya gw memutuskan untuk meninggalkan dia karena gw ingin melakukan sesuatu yang lebih berdampak untuk diri gw. Gw akui, gw cukup egois tapi kalau bukan diri kita yang menyenangkan kita, siapa lagi? Ini justifikasi gw terhadap perlakuan buruk gw terhadap si gendut. Gw tahu dari sisi gw pun pasti ada salah, ada kekurangan, dan ada banyak hal yang membuat dia kecewa.

Hmm, setelah setahun berlalu, gw masih belum bertemu dengan si gendut. Gw berharap bisa bertemu dengannya (dan mungkin juga dengan pacar barunya). Walaupun undangan gw belum begitu diperhatikan sama dia. Coba kita lihat beberapa bulan lagi, siapa tahu keadaannya jadi lebih baik. Gw agak risih kalau mantan akhirnya menjadi musuh. Okay, I lost my train of thoughts. 

Intinya, gw kangen dan berharap bisa ketemu terlepas dari pengalaman buruk yang telah terjadi dari 2014. Tapi kalau dia masih merasa ketemuan sama gw tidak ada faedahnya, gw tidak akan memaksa. Gw berharap bisa meminta maaf secara langsung karena telah menyakiti dia secara emosional dan verbal (si gendut). 


Maafin yaaaa~


Thursday, April 20, 2017

Falling x Failing

Its just a few fays after the impact.

Im still numb, trying to figure out what to do.

But the result was clear enough for me. I failed. What should I do after failing multiple times in the same shit hole?

Maybe life was way too sweet and easy for me hence the event was inevitable. It was like a friendly reminder to be more cautious, be more careful and be more mature in handling problems.

I am still trying to pull myself together. If Im gone all of a sudden, you should know why and by whom. I think it is a good idea to end this misery. We shall see how it goes.

Thursday, March 9, 2017

Gotcha'

Stumbled upon someones's facebook and it kinda led to other stuff.

Gw lagi di kantor dan teman gw mendekati gw. Terus gw tiba-tiba nyeletuk,

"_________! Laki-laki _____________!!!!"

Temen gw keheranan dan cuma merespon, "Apaan dah lu, Ci?"

Huft. Tapi intinya "Gotcha". Sudah diarsipkan dengan baik. Lalu gw berpikir sama diskusi rapat kemarin (Bagian ghibahnya ya, bukan inti rapatnya). Dengan gw melakukan hal ini (ngecek-ngecek dan sok investigasi kayak Conan) mungkin gw belum move on. Ga peduli seberapapun usaha gw untuk DENIAL ("Ngga kok, udah move on. Udah gak kepikiran lagi. Huft. Hahaha. Ha. Ha. Ha")

Kayaknya emang masih ada yang ganjel di gw. Gak usah ngarep untuk berelasi kalau diri gw sendiri aja masih "gitu gitu aja".

Mungkin gw merasa diri gw berlari dengan bebas, tapi sebebas-bebasnya gw melangkah, gw masih membawa beban yang tanpa gw sadari mulai memperlambat gw.

Gw sudah terbiasa me-repress hal-hal yang membuat gw sakit sampai gw pun lupa akan kejadian yang membuat gw sakit. I feel like Im a gigantic ball of screw up~

Cheers!